Jakarta, CNBC Indonesia - Para pekerja di sektor pertambangan khususnya batu bara terancam Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK). Hal itu imbas dari dunia yang tengah mendorong transisi energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) atau energi hijau.
Laporan terbaru Global Energy Monitor mencatat ada sebanyak 2,7 juta pekerja langsung di tambang batu bara yang beroperasi di seluruh dunia. Nah, pada tahun 2035 industri batu bara akan kehilangan hampir setengah juta pekerjaan itu, di mana dalam perkiraannya rata-rata 100 pekerja per hari di PHK.
Lantas bagaimana potensi ancaman PHK pekerja tambang batu bara di Indonesia?
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengatakan bahwa energi yang dihasilkan melalui energi fosil khususnya batu bara masih akan dibutuhkan oleh dunia sehingga pihaknya belum bisa menilai akan adanya ancaman PHK pekerja di sektor pertambangan batu bara khususnya di Indonesia.
"Kami belum bisa berandai-andai apakah ada PHK besar-besaran seperti yang dimuat dalam laporan tersebut akan terjadi di Indonesia di era transisi. Karena kami masih melihat batubara akan tetap menjadi sumber energi andalan," jelasnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (12/10/2023).
Namun begitu, dia mengatakan walaupun energi batu bara masih dibutuhkan, Hendramengklaim bahwa memang transisi energi yang akan berpindah dari energi fosil menjadi EBT atau energi hijau pasti akan terjadi. Dia menekankan bahwa transisi energi tidak terjadi secara instan, namun memiliki proses panjang yang tentunya masih melibatkan batu bara sebagai sumber energi.
"Meskipun suatu saat nanti batubara akan tergantikan oleh energi lain, tapi itu kan tetap membutuhkan waktu, ada tahapannya," tambahnya.
Dia mengatakan, justru ancaman PHK dapat terjadi bukan dikarenakan transisi energi, namun karena cadangan batu bara yang terbatas dan izin usaha pertambangan batu bara oleh perusahaan yang juga tidak lama.
"Perusahaan batubara yang saat ini juga memiliki cadangan yang terbatas, bukan selamanya. Dan juga perusahaan-perusahaan yang saat ini juga mempunyai keterbatasan izin, jangka waktu izin," tandasnya.
Seperti diketahui, sebelumnya Manajer Proyek Global Coal Mine Tracker, Dorothy Mei menyatakan transisi energi di dunia tak bisa menghindari adanya penutupan tambang-tambang batu bara di dunia, hal itu juga tentunya akan berdampak pada kondisi sosial para pekerjanya.
"Perencanaan transisi yang baik sedang dilakukan, seperti di Spanyol di mana negara tersebut secara rutin meninjau dampak dekarbonisasi yang sedang berlangsung. Pemerintah harus mengambil inspirasi dari keberhasilan mereka dalam merencanakan strategi transisi energi yang adil," jelasnya seperti dilansir Global Energy Monitor, dikutip Rabu (11/10/2023).
Laporan tersebut juga mengungkapkan sebagian besar pekerja ini berada di Asia yakni sebanyak 2,2 juta pekerjaan. Adapun negara yang menghasilkan batu bara terbesar di dunia seperti China dan India diperkirakan akan menanggung dampak terbesar dari penutupan tambang batu bara.
China memiliki lebih dari 1,5 juta penambang batu bara yang memproduksi lebih dari 85% batu baranya, yang menyumbang setengah produksi dunia. Provinsi Shanxi, Henan, dan Mongolia Dalam memproduksi lebih dari seperempat batu bara dunia dan mempekerjakan 32% tenaga kerja pertambangan global mencapai 870.400 orang.
India, produsen batu bara terbesar kedua di dunia, memiliki jumlah tenaga kerja sekitar setengah dari luas provinsi Shanxi di China. Negara ini secara resmi mempekerjakan sekitar 337.400 penambang di tambang yang beroperasi.
Bahkan, salah satu perusahaan batu bara di India yakni Coal India, menghadapi potensi PHK terbesar yaitu 73.800 pekerja langsung pada tahun 2050.
[Gambas:Video CNBC]
(pgr/pgr)
Source https://www.cnbcindonesia.com