Mimpi Indonesia Jadi Raja Energi Hijau, Mungkinkah Tercapai?

Admin Ugems
Lesen in 2 Minuten - Thu Nov 14 01:00:00 GMT 2024

Jakarta - Sebagai presiden baru, Prabowo Subianto memiliki visi ambisius untuk menjadikan Indonesia sebagai 'raja energi hijau dunia'. Sektor energi direncanakan menjadi pendorong utama target pertumbuhan ekonomi 8% melalui swasembada energi. Visi ini terlihat cukup menjanjikan dengan adanya peluang-peluang di depan mata. Misalnya, komitmen internasional seperti Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP). Kedua inisiatif ini memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk mendapatkan dukungan finansial dan teknis dalam mengembangkan sektor energi terbarukan. Sepanjang 2024, pemerintah Indonesia telah dua kali menerima dua komitmen dana JETP dari Uni Eropa US$ 500 juta dan Amerika Serikat US$ 1 miliar dalam berbagai bentuk project. Hal ini merupakan sinyal baik masa depan transisi energi di masa Prabowo Subianto.Pasalnya, dana yang turun baru mencapai 7,5% dari total US$ 20 miliar, dan kemungkinan besar, sisanya secara bertahap akan diberikan selama periode kepemimpinan Prabowo.Namun, implementasi konkret dari komitmen ini sangat penting untuk memperkuat posisi Indonesia di mata dunia dan menarik investasi yang diperlukan untuk peralihan ke energi terbarukan yang lebih cepat. Keberhasilan pembangunan PLTS Cirata berkapasitas 145 megawatt peak (MWp) yang merupakan PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara, menunjukkan Indonesia mampu menggarap proyek energi terbarukan skala besar di era Jokowi.Di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran, proyek-proyek serupa perlu diakselerasi. Kapasitas energi terbarukan yang tinggi dapat menjadi modal pembangunan ekonomi berkelanjutan di Indonesia, yang lebih resisten terhadap dampak krisis iklim. Tantangan Pemerintah Prabowo-Gibran Keberhasilan Presiden Joko Widodo menghasilkan kesepakatan pembiayaan internasional untuk transisi energi adalah langkah awal yang baik. Namun, tak bisa dipungkiri sejumlah kebijakan yang diterbitkan selama satu dekade kepemimpinannya justru menjadi tantangan bagi pemerintahan yang baru. Pertama, di akhir era Jokowi, terdapat rencana penurunan target bauran energi terbarukan dari 23% pada 2025 menjadi 19-22% pada 2030 melalui Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), yang juga telah disetujui DPR.Lanjut ke halaman berikutnya
Rencana ini berisiko menggagalkan target nol emisi sektor ketenagalistrikan pada 2060. Prabowo perlu membatalkan rencana ini, dan menetapkan target energi terbarukan lebih tinggi, misalnya menjadi tiga kali lipat lebih besar sejalan dengan tren global. Kedua, kebijakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap yang menghambat partisipasi masyarakat dalam mempercepat transisi energi, yakni Permen ESDM No 2/2024, menghapus berbagai insentif PLTS atap, membatasi jadwal pemasangan, dan menghilangkan skema ekspor kelebihan kapasitas listrik ke PLN.Prabowo perlu melihat PLTS atap sebagai sebuah peluang ekonomi yang dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat, selain mempercepat pengembangan energi terbarukan. Ketiga, kebijakan lain yang tidak seharusnya diteruskan oleh Presiden Prabowo adalah diberikannya karpet merah bagi energi fosil. Laporan CERAH 2024 bertajuk "Probing President Jokowi's Energy Policies: Progress or Regress?" menggarisbawahi bahwa kebijakan-kebijakan era Jokowi memperkuat ketergantungan Indonesia pada energi fosil hingga 2060.Revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja memberikan keistimewaan berlebihan kepada industri batu bara, mulai dari insentif fiskal hingga perizinan yang dipermudah. Langkah ini mencerminkan pemerintah memprioritaskan keuntungan jangka pendek industri energi fosil, di atas kelestarian lingkungan.Keempat, lampu hijau PLTU captive, menjadi simbol standar ganda kebijakan transisi energi. Meski di atas kertas pemerintah menyatakan niatnya mempercepat pengembangan energi terbarukan melalui Perpres No 112/2022, ironisnya, kebijakan ini malah membuka celah bagi pembangunan PLTU baru, terutama PLTU captive. Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) bersama Global Energy Monitor (GEM) (2024) mengungkap, PLTU captive Indonesia diproyeksikan melonjak mencapai 26,2 gigawatt (GW) dari saat ini 15,2 GW. Reformasi Kebijakan Energi Pemerintahan baru harus segera melakukan reformasi menyeluruh dalam kebijakan energi, memperkuat komitmen pada energi terbarukan, serta memastikan pengambilan keputusan yang lebih transparan dan inklusif. Indonesia membutuhkan gebrakan transisi energi, yang berarti Prabowo tak bisa hanya sekadar meneruskan kebijakan pemerintahan sebelumnya. Salah satu keputusan Prabowo yang disesalkan yakni terdapat figur-figur kunci di pemerintahan yang memiliki latar belakang kuat di sektor pertambangan batu bara, menunjukkan orientasi kebijakan yang cenderung pro-industri batu bara. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kebijakan energi Indonesia nantinya tetap didominasi oleh kepentingan industri batu bara. Berikutnya, konsistensi kebijakan adalah kunci. Pemerintah harus berhenti memberikan sinyal yang bertentangan dengan tujuan transisi energi. Kebijakan transisi energi harus selaras dari undang-undang hingga peraturan pelaksanaannya, dengan partisipasi publik yang lebih luas akan membantu membangun kembali kepercayaan dan memastikan keberhasilan transisi energi. Dengan mengambil langkah-langkah tegas dalam transisi energi, Indonesia tidak hanya akan mencapai ketahanan dan kemandirian energi yang lebih kuat, tetapi juga dapat menarik investasi internasional yang signifikan dalam sektor energi terbarukan. Hal ini pada gilirannya akan mendorong penciptaan lapangan kerja berkualitas tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, turut mendukung visi Asta Cita dengan target pertumbuhan 8%.Sartika Nur ShalatiPeneliti Indonesia Cerah



Source https://finance.detik.com

Seitenkommentare