Nasib UU Migas RI, Compang-camping Sejak 12 Tahun
Nasib UU Migas RI, Compang-camping Sejak 12 Tahun
Admin Ugems
Jakarta, CNBC Indonesia - Praktisi Minyak dan Gas Bumi (Migas) Andang Bachtiar menilai kebijakan yang mengatur pengelolaan migas yakni Undang-Undang Nomoir 22 Tahun 2001 tentang Migas (UU Migas) dalam negeri sudah 'compang-camping' sejak 12 tahun yang lalu.Andang mengatakan sulitnya mendapatkan investasi di sektor migas dalam negeri salah satunya didasari oleh kebijakan yang belum juga tuntas direvisi oleh pemerintah Indonesia."Ya, yang paling mendasar sebenarnya undang-undang Migas kita sudah compang-camping sejak 12 tahun yang lalu. Banyak sekali pasal-pasalnya yang sudah dibatalkan oleh MK. Dan sampai sekarang otoritas oil and gas Indonesia yang namanya SKK Migas pun itu hanya berdasarkan pada Peraturan Presiden," ujar Andang kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, Kamis (16/5/2024).
Sebagaimana diketahui, pembahasan revisi UU Migas belum juga rampung diparipurnakan atau diresmikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Bahkan Andang menilai, proses revisi beleid itu tak kunjung tuntas dalam dua periode kepemimpinan presiden RI Jokowi."Jadi Undang-undang Migas selalu dijanjikan di setiap menjelang pemilu itu akan dikerjakan, dituntaskan. Tapi sudah tiga pemilu ini nggak pernah beres-beres Undang-undang Migas ini," tambahnya.Adapun, Andang menyebutkan masuknya investasi sektor migas di dalam negeri sangat dipengaruhi oleh kepastian hukum di Indonesia. Namun, jika RUU Migas masih juga belum rampung dikerjakan, maka tidak bisa memberikan kepastian hukum di Indonesia."Jadi itu yang paling mendasar. Jadi orang juga mau investasi di sini jika (peraturan) nanti diubah lagi, nanti diubah lagi. Lha wong Undang-undangnya saja compang-camping kok. Itu sampai sekarang juga nggak beres-beres itu," kata Andang.Lemahnya dasar hukum sektor Migas di Indonesia sejatinya bisa dimulai dari DPR RI untuk mendorong RUU Migas untuk segera dituntaskan. Selama ini, Andang menyebutkan, hukum yang dijadikan dasar justru hanya berbasis Peraturan Menteri, ataupun Peraturan Pemerintah."Di peraturan Pemerintah tentang hulu Migas aja nggak ada. Di peraturan Pemerintah tentang industri nggak ada gitu ya. Kita sudah bikin Peraturan Menteri. Dasarnya di atasnya nggak ada. Nah hal-hal kayak gini nih selain tadi itu dikatakan kepastian hukum, ya hal-hal kayak gitu yang harus diberesin sebenarnya," tandasnya.Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) siap bekerja sama dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Komisi VII DPR untuk membahas mengenai Revisi UU Migas.Salah satu poin penting dalam pembahasan yaitu mengenai satu usulan Badan Usaha Khusus (BUK) Migas sebagai lembaga definitif pengganti Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) kementerian esdm yang menjabat saat itu, Tutuka Ariadji mengatakan format kelembagaan pengelolaan hulu migas menjadi poin penting yang saat ini masih dibahas bersama DPR. Namun, kementerian esdm mengaku mempunyai 3 opsi format kelembagaan baru yang dapat dimasukkan ke dalam RUU Migas ini."Itu nanti diskusi bareng sama DPR ya. Kalau dari saya, terbuka mana yang terbaik, kan bagi kami yang penting bukan kelembagaannya tapi gimana laksanakan itu dengan baik. Nah jadi kita harus tahu kalau milih ini akibatnya apa itu akibatnya apa nanti kita sampaikan," ujar Tutuka ditemui di Gedung kementerian esdm, dikutip Rabu (9/8/2023).Adapun, dengan adanya RUU Migas ini, maka peran dari SKK Migas sebagai regulator di sektor hulu nantinya akan tergantikan oleh BUK Migas. Meski demikian, persoalan siapa yang nanti akan ditunjuk sebagai BUK Migas antara Pertamina atau SKK Migas masih menjadi perdebatan tersendiri. "(Tiga opsi) kan bisa satu kaki, dua kaki, satu kaki SKK Migas, satu kaki Pertamina tengahnya dua kaki kan bisa juga," kata Tutuka.
[Gambas:Video CNBC]
(pgr/pgr)